MENGKRITISI PERMASALAHAN PEMUKMAN, KEPADATAN, KEKUMUHAN, KEPEMILIKAN TANAH, DAN SENGKETA TANAH

MENGKRITISI PERMASALAHAN PEMUKMAN, KEPADATAN, KEKUMUHAN, KEPEMILIKAN TANAH, DAN SENGKETA TANAH

Nama: Hana Kharunnisa
Kelas: 3TB01
NPM: 24314724
UU24 Tahun 1992 Tentang tata ruang dapat dlihat di:

Latar Belakang

Hasil gambar untuk pemukiman kumuh
Persoalan permukiman merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang fatal dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya. Permukiman kumuh merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan.

Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuahkepastian hukum untuk seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti ada beberapa kepentingan-kepentingan yang menyangkut didalamnya seperti kepentingan negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum bisa dikatakan sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum di dalamnya. Seseorang yang sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih mudah dalam melakukan lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat.  Hukum tersebut haruslah berupa hukum yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk meminimalisasi konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilator belakangi oleh sengketa tanah

PEMBAHASAN

Pengertian dan Karakteristik Permukiman Kumuh
Menurut Khomarudin (1997) permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut suatu lingkungan yg berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha) dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standartd, sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan serta hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundang-undangan yang berlaku.
Faktor-faktor Terbentuknya Permukiman Kumuh
Adapun timbulnya kawasan kumuh menurut Hari Srinivas (2003) dapat dikelompokan sebagai berikut:
1.     Faktor internal: Faktor budaya, agama, tempat bekerja, tempat lahir, lama tinggal, investasi rumah, jenis bangunan rumah.
2.     Faktor eksternal: Kepemilikan tanah, kebijakan pemerintah
Penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh menurut Khomarudin (1997) antara lain adalah :
1.     Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat, berpenghasilan rendah,
2.     Sulit mencari pekerjaan,
3.     Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
4.     Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
5.     Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta
6.     Disiplin warga yang rendah.
7.     Kota sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha,
8.     Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.

1. Masalah-masalah yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh
Hasil gambar untuk pemukiman kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Dampak langsung dari adanya permukiman kumuh dalam hal keruangan yaitu adanya penurunan kualitas lingkungan fisik maupun sosial permukiman yang berakibat semakin rendahnya mutu lingkungan sebagai tempat tinggal (Yunus, 2000 dalam Gamal Rindarjono, 2010). Seperti halnya lingkungan permukiman kumuh yang ada di Semarang memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan yang semakin menurun, secara umum hal ini dapat diamati berdasarkan hal sebagai berikut (Gamal Rindarjono, 2010) : (1) Fasilitas umum yang kondisinya dari tahun ke tahun semakin berkurang atau bahkan sudah tidak memadai lagi; (2) Sanitasi lingkungan yang semakin menurun, hal ini dicerminkan dengan tingginya wabah penyakit serta tingginya frekwensi wabah penyakit yang terjadi, umumnya adalah DB (demam berdarah), diare, dart penyakit kulit; (3) Sifat extended family (keluarga besar)pada sebagian besar pemukim permukiman kumuh mengakibatkan dampak pada pemanfaatan ruang yang sangat semrawut di dalam rumah, untuk menampung penambahan jumlah anggota keluarga maka dibuat penambahan-penambahan ruang serta bangunan yang asal jadi, akibatnya kondisi rumah secara fisik semakin terlihat acak-acakan.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi, mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.

Hasil gambar untuk pemukiman kumuh
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya (Sri Soewasti Susanto, 1974 dalam Diah Novitasari, 2010). Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut (Sri Soewasti Susanto, 1974 dalam Diah Novitasari, 2010) : (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan. Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah (Sri Soewasti Susanto, 1974 dalam Diah Novitasari, 2010):
1.     ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni
2.     rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran
3.     sarana jalan yang sempit dan tidak memadai
4.     tidak tersedianya jaringan drainase
5.     kurangnya suplai air bersih
6.     jaringan listrik yang semrawut
7.     fasilitas MCK yang tidak memadai
Hasil gambar untuk sengketa tanah
PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
 Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang mengatur mengenai hak-hak penguasaan tanah.
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi;

·           Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas tanah(permukaan bumi,
·         Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
·         Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian,
·           Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan,
·         Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air
·         Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.

Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain:
1.      Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2.      Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3.      Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
4.      Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah:
1.      Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2.      Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3.      Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4.      Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5.      Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.

Hasil gambar untuk sengketa tanah
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan yaitu:

1.      Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2.      Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3.      Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4.      Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5.      Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas, perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah tersebut.
Contoh dalam masyarakat tentang sengketa tanah yang terjadi
Yang pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan  Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara  TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan,
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum.  Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland reform dengan verponding  (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
·         Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
·         Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
·         TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.
Pembuat Undang-undang Pokok Agraria member kesempatan bagi setiap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia untuk mendaftarkan haknya dan akan memperoleh sertifikat Hak Milik melalui prosedur konversi Hak Adat(peraturan Menteri Pertanian dan Agraria).
Jadi walaupun itu berdasarkan tanah adat maupun turun temurun dari nenek moyang, tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku, karena Indonesia ini adalah negara hukum dan lebih kuat juga bila ada bukti hukum yang pasti seperti surat tanah atau akta tanah tersebut. Sangatlah penting tentang surat tanah yang salah satu manfaatnya yaitu untuk kepastian hukum.

Kesimpulan
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Menurut Cities Alliance (lembaga internasional yang menangani hibah, pengetahuan dan advokasi untuk kepentingan peningkatan permukiman kumuh di dunia) dalam Lana Winayanti (2011) ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru yaitu:
1.     a.    Kepastian bermukim (Secure Tenure).Hak atas tanah adalah hak individu atau kelompok untuk menghuni atau menggunakan sebidang tanah. Hak atas tanah dapat berupa hak milik atau hak sewa. Kejelasan hak atas tanah memberikan keyakinan akan masa depan – rasa aman karena kejelasan hak (sewa ataupun milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan mengakibatkan penghuni berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan mereka. Perbaikan secara bertahap oleh masyarakat dapat meningkatkan kualitas komunitas. Perlu ada kerangka kerja yang jelas tentang kepastian bermukim. Seringkali masyarakat permukiman kumuh menghadapi berbagai hambatan untuk memiliki atau memperoleh kejelasan hak atas tanah dan hak atas hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya agak disfungsional dan peraturan yang ada menyulitkan pemerintah daerah untuk mencari tanah terjangkau dan berada di lokasi yang strategis bagi penghuni permukiman kumuh yang padat. Pengendalian tanah seringkali terkait dengan kekuatan politik dan korupsi, sehingga menyulitkan memperoleh informasi tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan dan ketersediaan tanah.
2.     b.   Mendapatkan hak segabai warga kota. Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan, dan seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak ini seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar ini. Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan ‘ruang’ dimana masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah dapat saling berdialog tentang peluang-peluang meningkatkan komunitas permukiman kumuh. Melalui dialog, setiap pihak dapat meletakkan hak dan tanggung jawab, serta merancang program peningkatan permukiman kumuh yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sulit program ini berhasil.
Pemerintah juga telah membentuk institusi yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional, serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi bidang-bidang tertentu. Yang di usahakan adalah: perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi, pembangunan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional dan sumber daya alam, pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan administrasi negara, kerja sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan, pusat data dan informasi perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan perencanaan pembangunan (pusbindiklatren), program pembangunan nasional (propenas), badan koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional, hubungan eksternal.
Warga kumuh kerap digusur, tanpa adanya solusi bagi mereka selanjutnya. Seharusnya, pemerintah bisa mengakomodasi hal ini dengan melakukan relokasi ke kawasan khusus. Dengan penyediaan lahan khusus tersebut, pemerintah bisa membangun suatu kawasan tempat tinggal terpadu berbentuk vertikal (rumah susun) yang ramah lingkungan untuk disewakan kepada mereka. Namun, pembangunan rusun tersebut juga harus dilengkapi sarana pendukung lainnya, seperti sekolah, tempat ibadah, dan pasar yang bisa diakses hanya dengan berjalan kaki, tanpa harus menggunakan kendaraan. Bangunan harus berbentuk vertikal (rusun) agar tidak menghabiskan banyak lahan. Sisanya, harus disediakan pula lahan untuk ruang terbuka hijau, sehingga masyarakat tetap menikmati lingkungan yang sehat. Dalam hal ini masyarakat harus turut serta untuk menanam dan memelihara lingkungan hijau tersebut.
Pemerintah dapat menerapkan program rekayasa sosial, di mana tidak hanya menyediakan pembangunan secara fisik, tetapi juga penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga mereka dapat belajar survive. Perlu dukungan penciptaan pekerjaan yang bisa membantu mereka survive, misalnya dengan pemberdayaan lingkungan setempat yang membantu mereka untuk mendapatkan penghasilan, sehingga mereka memiliki uang untuk kebutuhan hidup.
Masyarakat harus ikut dilibatkan dalam mengatasi permukiman kumuh di perkotaan. Karena orang yang tinggal di kawasan kumuhlah yang tahu benar apa yang menjadi masalah, termasuk solusinya. Jika masyarakat dilibatkan, persoalan mengenai permukiman kumuh bisa segera diselesaikan. Melalui kontribusi masukan dari masyarakat maka akan diketahui secara persis instrumen dan kebijakan yang paling tepat dan dibutuhkan dalam mengatasi permukiman kumuh. Dalam mengatasi permukiman kumuh tetap harus ada intervensi dari negara, terutama untuk menilai program yang disampaikan masyarakat sudah sesuai sasaran atau harus ada perbaikan.  Permukiman kumuh tidak dapat diatasi dengan pembangunan fisik semata-mata tetapi yang lebih penting mengubah prilaku dan budaya dari masyarakat di kawasan kumuh. Jadi masyarakat juga harus menjaga lingkungannya agar tetap bersih, rapi, tertur dan indah. Sehingga akan tercipta lingkungan yang nyaman, tertip, dan asri.

Tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota. Terbentuknya pemukiman kumuh dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Pemerintah selain memberikan rumah susun juga harus memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum punya pekerjaan. Dan masyarakat harus selalu menjaga lingkungannya agar tetap indah, bersih, dan teratur.

Dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.

Saran
Dari kasus-kasus yang telah di kemukakan di atas, maka dapat disarankan bahwa semua hukum yang ada pada negara ini, telah dimasuki kepentingan negara dalam rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Jadi hukum tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara Indonesia yang sudah tertera pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Salah satunya yaitu mensejahterakan rakyat.
Menjadi warga negara yang baik harus tahu akan hukum serta tidak hanya tahu, juga haruslah melaksanakan hukum tersebut. Untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik (good citizen),  maka harus taat dan mengerti akan hukum. Hal itulah yang ditujukan untuk penulisan makalah ini tentang penanaman kesadaran hukum haruslah ditingkatkan di Indonesia agar tidak terjadi konflik-konflik dari yang ditimbulkan oleh penyelewengan hukum, atau pelanggaran hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Hari Srinivas. 2003, Defining Squatter Settlement, http://www.gdrc.org/ uem/define- squatter.dikases pada tanggal 22 Juli 2012.

Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. http://old.bappenas.go.id/index.php?module=ContentExpress&func=viewcat&ceid=-2&catid=4, dikases pada tanggal 28 Juli 2012.

Khomarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Jakarta: Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta.

Novitasari , Diah.2010. Pemukiman Kumuh di Pinggiran Kota. http://fisip.uns.ac.id/blog/diah/2011/01/03/bab-ii-pemukiman-kumuh/ , diakses pada tanggal 28 Juli 2012.

Rindarjono, Mohammad Gamal . 2010. Perkembangan Permukiman Kumuh di kota Semarang Tahun 1980-2006.http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1467_RD1005003.pdf, diakses pada tanggal 25 Juli 2012.


Winayanti, Lana. 2011. Menuju Kota Bebas Kumuh. http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/edisi3e.pdf, diakses pada tanggal 28 Juli 2012.


Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AMDAL DAN KASUS PENYIMPANGAN AMDAL

8 pokok bahasan IBD

The Palm Jumaerah dan Dubai Marina