Suku Pesisir
Suku Pesisi (Pesisir)
Pesisir
Ughang Pasisia |
Jumlah populasi
|
179.154 jiwa (2011)
|
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
|
Sumatera Utara
|
Bahasa
|
Bahasa Minangkabau logat Pesisir
|
Agama
|
Islam
|
Kelompok etnik terdekat
|
Minangkabau, Melayu
|
Suku Pesisir (Bahasa Minangkabau : Ughang Pasisia)
adalah sebuah kelompok masyarakat yang tersebar di pesisir barat Sumatera
Utara. Suku Pesisir merupakan penduduk Minangkabau
yang bermigrasi ke Tapanuli sejak abad ke-14 dan telah bercampur dengan Suku Melayu,
Mandailing,
dan Batak Toba.
Sejarah terbentuknya kelompok suku ini tidak jauh
berbeda dengan sejarah terbentuknya masyarakat Suku Aneuk
Jamee di pantai barat Aceh, masyarakat Negeri
Sembilan di Semenanjung Malaya, dan beberapa kelompok
masyarakat lainnya, yang merupakan diaspora
dari para perantau Minangkabau sejak berabad-abad yang
lalu.
Etimologi
Pesisir atau Pasisia bermakna wilayah yang
berada di tepi lautan. Penamaan 'Suku Pesisir' untuk kelompok masyarakat yang
mendiami pesisir barat Sumatera Utara tidak pernah dikenal hingga akhir abad
ke-20. Istilah ini dikemukakan untuk membedakan kelompok masyarakat di pesisir
barat Sumatera Utara dengan masyarakat Batak di pedalaman. Berdasarkan ruang
geografis etnisitas yang disusun oleh Collet (1925), Cunningham (1958), Reid
(1979) dan Sibeth (1991), di pesisir barat Sumatera Utara terdapat kelompok
masyarakat yang bukan merupakan bagian dari etnis Batak. Kelompok ini merupakan
para perantau dari Minangkabau yang telah bermigrasi ke pesisir barat Tapanuli
sejak berabad-abad lalu. Dalam perkembangannya, istilah Suku Pesisir lebih
digunakan untuk mempertegas kepentingan politik masyarakat Tapanuli Tengah,
terutama untuk menghindari dominasi orang Batak dari pedalaman.
Sejarah
Peta pengguna Bahasa Minangkabau di Sumatera. Pengguna Bahasa
Pesisir ditunjukkan dengan warna hijau yang berada di sebelah barat Sumatera
Utara
Pada abad ke-14, banyak masyarakat Minangkabau yang
melakukan migrasi ke Tapanuli Tengah. Tujuan mereka ialah untuk menjadikan Barus sebagai salah satu
pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman,
yang menjadi tempat keluar masuknya perdagangan di Pulau
Sumatera. Kedatangan mereka ke Barus menyebabkan tersingkirnya para
pedagang Tamil
yang sudah berdagang di kota itu sejak ratusan tahun sebelumnya.
Gelombang berikutnya ialah rombongan yang dipimpin
oleh Sultan Ibrahimsyah yang berasal dari Pesisir Selatan. Rombongan ini kemudian
mendirikan Kesultanan Barus yang menjadi salah satu vassal
Kerajaan Pagaruyung. Kedatangan orang Minang berlanjut setelah dibentuknya residentie
Tapanuli yang beribu kota di Sibolga. Pemerintah Hindia-Belanda
banyak mempekerjakan mereka untuk mengisi jabatan guru dan di pemerintahan.
Sejak pertengahan abad ke-19, masyarakat dari pedalaman Toba dan Mandailing
mulai banyak bermukim di Barus, Sorkam, dan Sibolga.
Mereka berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau dan membentuk kelompok
masyarakat Pesisir. Pada sensus penduduk tahun 2000, masyarakat Pesisir
diklasifikasikan sebagai etnis tersendiri. Di tahun 2008, sebagian besar
kelompok masyarakat Pesisir menolak bergabung dengan etnis Batak Toba
untuk mendirikan Provinsi Tapanuli.
Penyebaran
Suku Pesisir terdapat di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Mandailing Natal, Sibolga,
dan Medan.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat Pesisir
merupakan salah satu dialek dari Bahasa Minangkabau yang juga digunakan di Pariaman.
Selain itu terdapat pula beberapa kosa kata yang diambil dari Bahasa Batak
dan Bahasa Melayu.
Percampuran bahasa ini dikenal dengan Bahasa Pesisir yang menjadi bahasa
pergaulan sehari-hari (lingua franca) di pesisir barat Tapanuli.
Adat dan Budaya
Sebagai wilayah rantau Minangkabau, kebudayaan Pesisir
banyak dipengaruhi oleh budaya Minangkabau. Namun sebagai kelompok
masyarakat yang heterogen, Suku Pesisir juga banyak menyerap
kebudayaan-kebudayaan lain, seperti budaya Melayu, Mandailing, Aceh, Bugis,
India, dan Arab. Adat dan budaya Suku Pesisir yang serupa dengan budaya
Minangkabau ialah dalam menyambut para tamu, dimana masyarakat Pesisir juga
menggunakan Tari Pasambahan. Meski tidak lagi menganut
sistem matrilineal, namun Suku Pesisir juga
memiliki kepala kaum yang dipanggil mamak. Untuk pemanggilan kepada
saudara orang tua, Suku Pesisir juga menggunakan istilah mak tuo, mak
angah, dan mak etek. Sedangkan untuk pemanggilan kepada saudara
kandung, juga dikenal istilah uniang, cik uniang, cik angah,
dan ajo.
Seni pertunjukan Suku Pesisir antara lain Kesenian
Sikambang, Tari Senyum Minang Manis, Randai, dan Tari Piring.
Dalam adat pernikahan, orang Pesisir biasa melakukan prosesi malam bainai
dan manjapuik yang juga banyak dijumpai di rantau Minangkabau lainnya.
Untuk seorang bangsawan
pada masyarakat Pesisir, masih diberikan gelar Sutan
dan Marah di belakang namanya.[10]
Tokoh
masyarakat
Disamping tetap mempertahankan beberapa aspek budaya
Minangkabau, seperti bahasa, seni, dan lainnya, Suku Pesisir juga mengadopsi
beberapa aspek budaya Batak, di antaranya pemakaian nama marga di belakang nama
utama. Umumnya Suku Pesisir memakai nama marga Tanjung di belakang nama
utamanya. Beberapa tokoh ternama dari Suku Pesisir, di
antaranya Akbar Tanjung, Faisal
Tanjung, Chairul Tanjung, dan lainnya.
Sumber
- ^ Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 2010
- ^ Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut, Ecole Franc̦aise d'Extrême-Orient, 1995
- ^ Jane Drakard, A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom
- ^ http://apakabarsidimpuan.com Ketua DPRD Persoalkan Pakaian Adat Pesisir Sibolga
- ^ Cortesao A., The Suma Oriental of Tome Pires, London, 1944
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula
- ^ Jane Drakard, Sejarah Raja-raja Barus: Dua Naskah dari Barus, Penerbit Angkasa dan Ecole Franc̦aise d'Extrême-Orient, 1988
- ^ http://www.jpnn.com RUU Provinsi Tapanuli Terganjal Sibolga
- ^ Refelina Puspita, Unsur Budaya Minang dalam Budaya Pesisir Sibolga Sumatera Utara, Unimed, 2014
- ^ Elizabeth Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, Cornell University, 1981
Komentar
Posting Komentar